SELAMAT DATANG DI BLOG KAMI

Berbagi Ilmu dan Wawasan

Selasa, 04 Januari 2011

Rrformasi kebijakan Agraria


I.          Pengantar
Di awal abad dua puluh satu ini, perbincangan mengenai penataan struktur agraria atau lebih dikenal dengan istilah agrarian reform/reforma agraria/pembaruan agraria, muncul kembali ke permukaan. Berbagai studi mengenainya, bahkan sudah pula menjadi agenda dari berbagai badan internasional, negara maupun berbagai organisasi gerakan sosial pedesaan di Asia, Afrika dan Amerika Latin.
Lantas bagaimana dengan Indonesia? Sebagai negara yang pernah melakukan “aborsi” agenda reforma agraria pada pertengahan tahun 1960-an, kali ini Indonesia tidak mau ketinggalan kereta dalam membincangkan hal ini. Pada masa rezim politik SBY-JK sekarang, melalui Kepala Pusat Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN-RI) menggulirkan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Suatu program resmi dari pemerintah yang ingin menata ulang struktur penguasaan sumber-sumber agraria demi kemakmuran rakyat dan keadilan sosial.
Saya tidak akan masuk pada perdebatan seputar program resmi pemerintah RI mengenai PPAN. Dalam tulisan ini, saya ingin menggambarkan agenda reforma agraria sebagai agenda bangsa. Upaya untuk menata kehidupan dan struktur bermasyarakat, berbangsa dan bernegara secara lebih adil tersebut merupakan esensi dari cita-cita mewujudkan kemerdekaan nasional. Namun dalam prakteknya upaya penataan tersebut pasang surut di setiap zamannya. Mengingat, reforma agraria tidak saja merupakan perbincangan yang bersifat ekonomi-politik, namun juga memiliki latar ideologis. Dalam perbincangannya pun melibatkan tidak saja aktor politik, tapi juga aktor ekonomi bahkan melibatkan organisasi rakyat, baik antara yang setuju dan tidak dengan upaya tersebut. Lebih menarik lagi, pasang surut perbincangan mengenai reforma agraria selama republik ini berdiri telah melintasi beberapa kuasa politik: Demokrasi Terpimpin, Orde Baru dan era Reformasi.
Berbagai studi agraria yang ada selama dua dekade terakhir lebih mendeskripsikan mengenai sengketa agraria, baik yang terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin seperti karya Pelzer (1991) maupun pada masa Orde Baru seperti tulisan Bachriadi dan Lucas (2001). Sementara itu studi Fauzi (1999) lebih menyoroti peranan aktor dari reforma agraria, yaitu petani. Selain itu, terdapat pula studi-studi yang memberi perhatian khusus pada kerangka teoritis dan definisi mengenai reforma agraria seperti yang dilakukan oleh Wiradi (2000) dan Sediono M.P. Tjondronegoro (1999). Beberapa buku ini memiliki pengaruh kuat di banyak ilmuan sosial, termasuk sejarawan khususnya kalangan studi agraria.
Belakangan ini muncul suatu arus pemikiran atas perbincangan reforma agraria tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik, perdebatan ideologi, dan campur tangan pihak internasional di masa lampau. Apa yang terjadi di masa lampau tersebut masih beresonansi dengan keberadaan struktur agraria di Indonesia kini. Sehingga, sekarang ini diperlukan suatu studi yang lebih komprehensif mengenai gagasan reforma agraria di Indonesia, tidak saja di wilayah konsepsional dan teoritik, tapi juga bagaimana dinamika politik dan ideologi juga mewarnai gagasan ini, termasuk keterlibatan dunia internasional.
Berangkat dari sini, tulisan ini berusaha melakukan ekspalanasi sejarah (historical explanation) atas perjalanan reforma agraria dalam rentang waktu yang melintasi beberapa kuasa politik di Indonesia. Tentu saja tesis utamanya bagaimana pemikiran reforma agraria melintasi berbagai kuasa politik itu sendiri? Selanjutnya untuk penyajiannya dalam setiap sub-bab ditampilkan: (i) bentuk-bentuk reforma agraria di setiap kuasa politik, (ii) kesempatan politik dalam setiap kuasa politik yang memungkinkan jalannya reforma agraria, (iii) resistensi atas reforma agraria di setiap kuasa politik, (iv) dan akibat dari keberhasilan atau kegagalan dijalankannya reforma agraria ke kuasa politik berikutnya.
II.        Menuntut Kontrak Baru
Involusi pertanian dan kemiskinan bersama, sekedar meminjam dari Geertz, merupakan dua istilah yang tepat untuk memberi deskripsi awal atas pengalaman pahit hidup rakyat pedesaan di bawah kolonialisme dan feodalisme. Pengalaman pahit tersebut tergambar jelas bagaimana kuasa politik kolonial yang pada awalnya hadir sebagai organisasi dagang (VOC), yang kemudian menjalankan proses eksploitasi atas manusia pribumi dalam rangka memperkuat proses akumulasi kapitalnya dengan jalan tanam paksa. Tindakan tersebut kemudian mendapat legitimasi dengan kebijakan politik pertanahan kolonial, Agrarische Wet 1870. Berangkat dari sinilah, penguasaan sumber-sumber agraria ditata secara tegas melalui peraturan kuasa politik legal. Lengkaplah, eksploitasinya dari perdagangan, pemaksaan dan akhirnya penguasaan secara legal.
Sejarah tidaklah berjalan linier. Akibat dari penataan penguasaan sumber-sumber agraria oleh kuasa politik secara yang tidak adil, tentu saja beriringan dengan keresahan sosial. Studi dari Dingley sangatlah tajam menyoroti bagaimana keresahan sosial di Indonesia lahir akibat dari perkembangan kapitalisme, yang telah meningkatkan penindasan di kalangan kaum tani. Inilah yang kemudian mengarah pada lahirnya serikat rakyat revolusioner yang melakukan perlawanan atas penataan penguasaan sumber-sumber agraria dengan cara yang sangat tidak adil. Studi lain yang menyoroti ketidakadilan penataan sumber-sumber agraria dilakukan oleh Kartodirdjo. Berbeda dengan Dingley, studi Kartodirdjo ini memperlihatkan bagaimana peranan unsur kepemimpinan tradisional (keagamaan) juga memainkan peranan dalam proses perlawanan. Melalui elit tradisional tersebut ketidakpuasan kaum tani disuarakan melalui ideologi tanding dari kuasa asing. Tentu saja perlawanan dengan jalan ini lebih mengarah pada perlawanan yang bersifat lokalistik.
Berbagai perlawanan, pada dasarnya, merupakan tanggapan serius atas penyalahgunaan kekuasaan baik pada wilayah politik, sosial, ekonomi dan budaya oleh kuasa kolonial. Berdasar atas rekonstruksi dari Dingley, perlawanan kaum tani pada awal abad XX tidak lagi secara sederhana hanya merespon masalah-masalah lokal. Lebih luas dari itu, perlawanan massa rakyat yang terjadi tersebut sekaligus merupakan strategi yang berlawanan dengan colonial mode of development, sebuah tindakan yang berlandaskan cita-cita kolonial. Perlawanan tersebut tidak saja (semata-mata) menunjukkan sikap anti kolonialisme dan feodalisme, tapi juga perlawanan langsung atas perluasan sistem produksi dan ekstraksi komoditas baru untuk perusahan-perusahaan kapitalis kolonial yang berskala global.
Pada periode ini gerakan kaum tani sudah dipengaruhi oleh cita-cita gerakan nasional. Mereka mulai meninggalkan pola-pola lokalistik. Mereka mulai tergabung dalam satu organisasi rakyat yang memiliki kepentingan politik lebih luas, termasuk menjadi sub ordinasi dari suatu partai politik. Di samping itu, gerakan ini telah memiliki program-program yang lebih rasional. Adalah Sarekat Rakyat untuk menyebut salah satu contoh organisasi rakyat lokal namun telah memiliki program nasional, seperti: (i) distribusi “tanah-tanah pribadi” dari raja-raja pribumi kepada para petani; (ii) potongan pajak bagi mereka yang berpenghasilan kecil; (iii) pembentukan organisasi-organisasi kerja sama petani; dan (iv) pembentukan dewan-dewan kampung. Tidak hanya program, berbagai organisasi rakyat ini mulai memiliki sejumlah surat kabar penting dan yang terbitan periodik, seperti The Spark terbitan periodik di kalangan aktifis politik Jawa terbit di Solo, kemudian terbitan Titar yang sebelumnya bernama Surapati yang terbit di Bandung dan lain sebagainya.
Sementara itu, organisasi rakyat lainnya juga mulai memberi perhatian pada gerakan kaum tani. Adalah Budi Utomo, sebuah organisasi kaum intelektual nasionalis, yang didirikan tahun 1908, mulai memperhatikan persoalan kaum tani. Setidaknya pada tahun 1917, Budi Utomo memiliki program: (i) penetapan bunga minimum bagi tanah petani; (ii) peraturan menentang riba; (iii) pembentukan lumbung desa; (iv) pemotongan pajak bagi rakyat yang berpenghasilan kecil; dan memajukan pendidikan pertanian. Tidak mau ketinggalan organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah juga memberi perhatian pada kepentingan kaum tani. Gerakan kaum tani guna perjuangan keadilan agraria terus beresonansi dengan kaum pergerakan nasional. Hingga akhirnya, gerakan tersebut mampu saling  menumbuhkan kesadaran dan imaginasi tentang bangsa, dan mewujudkannya dalam pembentukan negara baru. Berdasar atas resonansi pergerakan tersebut, massa rakyat tani menempuh perjuangan agraria yang nyata dan perjuangan ini basis sosial dari aspirasi dan nilai-nilai kebangsaan.
Kalahnya rezim kolonialisme dari pihak fasisme Jepang di tahun 1942, gerakan nasional di Indonesia memasuki fase yang sangat berbeda dengan sebelumnya. Kesempatan politik, akibat situasi internasional tersebut tidak saja mengubah kenyataan politik di Indonesia. Gerakan nasional untuk semakin memantapkan faham kebangsaan, juga menata sumber-sumber agraria untuk dikelola oleh kaum bumi putera. Ditambah lagi produksi perkebunan semakin merosot sejak zaman maleise pada tahun 1930, dan semakin tidak diurus pada masa perang dunia ke II. Kenyataan ini merupakan kesempatan politik bagi gerakan kaum tani untuk mengambilalih tanah-tanah mereka yang dulu atas nama rekayasa kebijakan politik pertanahan kolonial menjadi milik asing. Sekaligus merupakan kesempatan politik untuk menduduki, menguasai dan memanfaatkan lahan-lahan perkebunan dalam rangka memenuhi kebutuhan subsistensi kaum tani.
Melihat kenyataan tersebut, Fasisme Jepang kemudian memanfaatkan lebih mendorong gerakan pengolahan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria yang dilakukan oleh kaum tani. Akan tetapi bukan dalam rangka penataan sumber-sumber agraria yang lebih adil, tapi lebih sebagai pelipatgandaan dalam rangka perang Asia Timur Raya. Dirasa masih kurang, Fasisme Jepang juga memaksa kaum tani melakukan pembongkaran terhadap hutan untuk dijadikan lahan-lahan pertanian, tentu saja demi kepentingan perang. Praktek  ini politik ini menambah penderitaan kaum tani Indonesia. Tidak itu saja, Fasisme Jepang juga menjalankan praktek politik yang melahirkan penderitaan rakyat, berupa penerapan sistem pajak yang mencapai 20%, namun dalam prakteknya mencapai 40%. Proses pelipatgandaan hasil bumi ini mengingatkan pada kekejaman Daendels dan era cultuurstelsel, dimana massa rakyat pedesaan menjadi sasaran penindasan utama.
III.       Kebangsaan Penyemangat Reforma Agraria
….hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya (Proklamasi 1945).
Jatuhnya bom atom di Hirosima dan Nagasaki mengakhiri perang Asia Timur Raya. Ditambah pecahnya Revolusi Agustus 1945 merupakan langkah awal mewujudkan kedaulatan sebagai bangsa. Berdaulat sebagai bangsa yang dapat “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memadjukan kesejahteraan umum, mentjerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia jang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.” Pada titik inilah, para pendiri bangsa berketetapan hati “untuk membentuk pemerintah negara Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia…….dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Untuk bisa mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia harus terlebih dahulu memaknai kemerdekaan. Menurut Bung Karno, kemerdekaan merupakan jembatan emas untuk menuju pembebasan-pembebasan lainnya, dari sistem kolonial dan warisan feodal.
Kata kunci dari proses ini adalah revolusi nasional. Suatu perubahan yang cepat dan radikal menyeluruh tatanan masyarakat lama menuju tatanan masyarakat yang baru. Sehingga yang dibutuhkan kemudian adalah suatu tatanan yang menjadi dasar bagi hidup bersama, suatu dasar negara (philosofische grondslag, staats fundamental norm, pokok kaidah fundamental negara), yang mengatur perilaku negara, bukan orang per orang warga negara, yaitu Pancasila. Perilaku negara ini terwujud dalam pembuatan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan, serta terungkap dalam praktek dan kebiasan bertindak para penyelenggara kekuasaan negara, yang itu harus berdasar pada Pancasila. Kendati begitu, Pancasila tidak saja berfungsi sebagai dasar negara sebagaimana disebutkan di atas, tapi juga sebagai Rechtsidee. Sebuah tuntunan menuju cita-cita hukum dan cita-cita moral bangsa yang merujuk pada perasaan keadilan rakyat.
Sejalan dengan gagasan kemerdekaan nasional yang merupakan jembatan emas untuk meninggalkan warisan feodal dan mengakhiri sistem kolonial menuju cita-cita luhur sebagaimana termaktub dalam mukadimah UUD 1945. Reforma agraria adalah jalan yang telah dipilih oleh para pemimpin bangsa di awal masa republik untuk mewujudkan cita-cita keadilan sosial itu. Gagasan reforma agraria tidak saja merubah struktur penguasaan sumber-sumber agraria yang lebih berkeadilan. Lebih jauh dari itu reforma agraria juga menyaratkan perubahan struktur sosial yang lebih setara tanpa adanya “penindasan si lemah oleh si kuat” dan “cara-cara penghisapan manusia atas manusia, explotation de l’home par l’homme.
Merupakan kenyataan sejarah pula, kebangsaan Indonesia bukan suatu yang lahir secara alamiah. Kebangsaan Indonesia juga tidak sekedar sesuatu yang berdasarkan bahasa dan budaya yang sama, seperti kebangsaan di negara Korea atau Polandia. Kebangsaan Indonesia dipersatukan oleh tekad untuk tumbuh bersama dari sejarah penderitaan dan penindasan, yang lalu melahirkan pengalaman perjuangan bersama demi kemerdekaan. Bung Karno bicara tentang nation building, tentang perlunya membangun Indonesia menjadi sebuah nation, sebuah bangsa. Kebangsaan Indonesia tumbuh dari kebhinekaan ke yang tunggal ika, karenanya kebangsaan itu tidak boleh taken for granted, harus tetap dijaga. Karenanya kebangsaan Indonesia adalah kenyataan yang bersifat etis. Kebangsaan hanya dapat mempersatukan karena dialami sebagai sesuatu yang luhur, yaitu penghisapan manusia atas manusia merupakan falsafah dasar dari penumpukan modal harus diakhiri. Lebih dari itu kebangsaan Indonesia juga mampu memberi rangsangan semangat untuk berkorban, yang mendorong warganya untuk memberikan yang terbaik bagi sesama. Semangat ini pada dasarnya sudah tertanam jauh di hati massa rakyat Indonesia dalam bentuk gotong royong, tidak hanya bermakna kebersamaan, tapi juga kerelaan dan kerendahan hati untuk berkorban demi hal yang lebih besar dan substansi.
Kenyataan sejarah yang lain menunjukkan bagaimana hidup dalam ketimpangan struktur agraria yang dalam praktek politiknya menafikan nilai-nilai kemanusiaan. Karenanya kebangsaan Indonesia memiliki semangat untuk dapat dirasakan sebagai sesuatu yang positif, adil dan luhur oleh warganya. Sehingga kebangsaan Indonesia memiliki sikap humanis. Artinya segala perjuangan demi kemajuan bangsa senantiasa menghormati keutuhan dan martabat setiap warga negara. Bahwa warga yang paling lemah pun tidak pernah boleh dimanipulasi atau dimanfaatkan atas nama kemajuan bangsa. Kebangsaan yang humanis tahu bahwa martabat bangsa akan utuh apabila martabat segenap warganya dihormati seutuhnya. Karena itu faham kebangsaan Indonesia yang humanis itu menjamin hak-hak asasi semua warganya. Pada titik ini tidak ada lagi sekat-sekat antara kawula dan gusti. Kesemuanya sama kedudukannya dalam wadah Republik Indonesia.
Inilah kemudian yang membawa kesadaran imaginasi tentang nation bagi para pendiri republik. Untuk mewujudkan kesadaran imaginasi tentang nation tersebut para pendiri republik sangat berkepentingan untuk mengadakan perombakan dan melakukan penataan ulang atas (i) pemilikan dan penguasaan sumber-sumber agraria, (ii) peruntukkan sumber-sumber agraria, serta (iii) kebijakan politik non-kolonial. Cita-cita dari para pendiri republik untuk mengadakan perombakan dan melakukan penataan ulang struktur agraria dengan jalan reforma agraria adalah mengarah pada perombakan struktur sosial-politik yang lebih berkeadilan dan kemakmuran rakyat serta berwatak nasionalis.
3.a.      Problem Awal Reforma Agraria Pasca Kolonial
Pandangan dasar bernegara di atas menuntun para pendiri republik untuk mulai menata politik agraria yang tidak lagi mengabdi pada kepentingan feodal dan modal kolonial. Kendati begitu, politik agraria mengisyaratkan tidak berada dalam ruang kosong atas kepentingan politik. Justru ia berada dalam suatu dinamika sosial-politik yang sangat kompleks. Pilihan politik suatu rezim yang berkuasa tentu saja memberikan pengaruh yang sangat besar pada pilihan politik agraria yang akan dijalankan. Terbukanya kesempatan politik dengan segera, oleh suatu rezim politik, akan dijadikan arena untuk mewujudkan reforma agraria versi pilihan politiknya.
Kesempatan politik yang terbuka mendorong agenda reforma agraria untuk segera terwujud masuk dalam, (i) arena-arena kebijakan politik lokal dan nasional, maupun (ii) praktek lapangan. Secara prinsip politik agraria ditujukan untuk membangun tatanan nasional yang mandiri dan memberi kepastian hukum kepada rakyat. Visi dasar politik agraria nasional adalah memberikan jaminan bahwa seluruh sumber-sumber agraria dapat dimanfaatkan bagi terwujudnya Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (sila kelima Pancasila) dan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat melalui institusi negara, sebagaimana termaktub sangat jelas dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Sebagaimana disebutkan di atas, upaya untuk mewujudkan politik agraria nasional tidak berada pada ruang politik kosong. Artinya gerakan reforma agraria Indonesia juga sudah berada dalam aritmetika politik dunia internasional. Karena, memang dari awal persoalan agraria ini berhubungan dengan dunia internasional. Akibat adanya strategi perjuangan politik melalui jalur diplomasi pada tingkat tertentu “mengganggu” semangat mewujudkan perjuangan penataan sumber-sumber agraria yang lebih adil dan diatur oleh kaum bumi putera. Melalui jalur diplomasi ini lahir Manifesto Politik tanggal 1 November 1945, yang menegaskan: (i) bahwa RI menghendaki perdamaian dan kerjasama dengan semua negara termasuk negara Belanda; (ii) bahwa RI sanggup menanggung segala hutang Hindia Belanda yang ada sebelum pendudukan Jepang; (iii) bahwa RI akan mengembalikan segala milik asing yang tidak diperlukan oleh negara; dan (iv) bahwa yang diambil untuk keperluan negara akan diberi ganti rugi.
Tentu saja, dijalankannya jalur diplomasi ini merupakan pukulan berat bagi gerakan kaum tani yang ingin mewujudkan penataan sumber-sumber agraria secara adil, tidak lagi berdasar atas sistem kolonial. Manifesto Politik 1 November 1945 merupakan peluang politik bagi kekuatan modal asing (yang sebelumnya menjajah) dengan elit pergerakan nasional melakukan negosiasi atas penataan sumber-sumber agraria di negara yang baru saja merdeka. Bahkan pihak internasional menyambut baik ide kompromi politik dari golongan diplomasi ini. Pihak Netherlands Indies Civil Administration (NICA) segera mengeluarkan maklumat tanggal 6 November 1945 untuk mendukung maklumat dari Indonesia.
Tentu saja ini menurunkan simpati kaum pergerakan nasional, khususnya kaum muda dan rakyat kaum tani terhadap sebagian elit republik kala itu. Memang sebagian elit republik menginginkan adanya kemerdekaan 100% terlebih dulu dari pihak Belanda, baru setelah itu dijalankan strategi diplomasi. Diplomasi bisa dijalankan kalau terdapat kedaulatan dari masing-masing pihak. Sebelum adanya pengakuan kedaulatan dari masing-masing pihak, tentu saja yang terjadi adalah diplomasi yang tidak seimbang. Adalah Tan Malaka yang melancarkan gerakan merdeka 100% tersebut. Sebuah ide yang kemudian dikukuhkan dalam Kongres I Persatuan Perjuangan di purwokerto tanggal 6 Januari 1946.
Sementara itu sejak Oktober 1945 terjadi keresahan luar biasa di daerah tanah-tanah partikelir (Particuliere Landerijen). Pada periode 1945-1950 telah berlangsung perlawanan kasar dari rakyat di atas tanah-tanah partikelir dan bekas-bekas onderneming yang identik dengan penindasan dan penghisapan terhadap kaum tani miskin oleh tuan tanah. Perlawanan kasar tersebut ditandai oleh perampokan, protes-protes sosial, hak menentukan nasib sendiri dan pembangkangan administratif. Sementara itu di wilayah perusahaan perkebunan, berbagai kekuatan kaum tani sudah menduduki dan memanfaatkan dalam rangka pemenuhan kebutuhan subsistensinya.
Akibat dari adanya politik diplomasi inilah, kemudian upaya mewujudkan gagasan reforma agraria secara revolusioner tersendat. Kekalahan demi kekalahan dalam berdiplomasi, ternyata tidak menyurutkan front diplomatik Indonesia untuk bernegosiasi dengan pihak asing. Padahal dalam setiap diplomasi posisi bangsa Indonesia selalu berada sebagai pihak yang lemah. Hingga akhirnya kekalahan diplomasi yang paling fatal terjadi pada Konferensi Meja Bundar tahun 1949. Semua sumber-sumber agraria yang dulu diolah oleh kolonialisme harus dikembalikan. Termasuk, setelah penyerahan kedaulatan Desember 1949, semua infrastruktur perekonomian Republik Indonesia masih dikuasai oleh pihak asing. Karenanya jalan dari reforma agraria pada periode ini terganjal oleh politik diplomasi luar negeri. Di samping itu, antara tahun 1945-1950, kekuatan kolonial masih gencar melancarkan agresi militer ke Indonesia. Tindakan agresi militer ini juga menyebabkan tersendatnya upaya untuk segera mewujudkan kemakmuran rakyat dan keadilan sosial dengan landasan yang berwatak nasional.
3.b.      Langkah Percobaan Reforma Agraria
Kendati tersendat, tapi tidak menyurutkan semangat para pendiri republik untuk menjalankan gagasan reforma agraria. Berbarengan dengan masih berkobarnya semangat “revolusi sosial” dari bawah, gerakan reforma agraria maujud dalam bentuk tuntutan penghapusan sisa-sisa feodalisme. Berbagai organisasi rakyat yang tergabung dalam gerakan anti swapraja pada 29 April 1946, mengeluarkan mosi bersama menghendaki penghapusan Daerah Istimewa Surakarta. Tekanan yang luar biasa tersebut terhadap pihak Mangkunegaran, akhirnya menyatakan bahwa Mangkunegaran menghargai keingan rakyat untuk demokrasi dan keadilan sosial.
Tampaknya semangat “revolusi sosial” tersebut mampu mendorong Pemerintah RI melakukan langkah percobaan pelaksaan reforma agraria di Indonesia yang dilaksanakan oleh Menteri Dalam Negeri. Langkah tersebut berupa dijalankannya land reform dalam skala kecil di daerah Banyumas, Jawa Tengah pada tahun 1946. Tujuan utama dari pelaksanaan land reform tersebut untuk menghapuskan hak istimewa desa perdikan, dulu bernama: Desa Pesantren, Desa Mutihan, Desa Pakuncen atau Desa Mijen.
Kemudian berdasar atas Undang-Undang No. 13 tahun 1946, hak istimewa tersebut dinyatakan tidak sesuai dengan cita-cita demokrasi dan revolusi Indonesia. Pemerintah kemudian mengambil setengah dari tanah yang begitu luas, yang dikuasai menurut hak historis oleh kepala desa dan keluarganya dan dibagikan kepada para penyakap, atau penggarap bagi hasil. Pemerintah mengganti kerugian tersebut dengan jalan 10% awalnya dengan dibayar kontan, sisanya dicicil dalam setahun lunas.
Seiring dengan berbagai gerakan anti swapraja yang semakin meluas dengan beragam tuntutannya. Gerakan ini selama bulan Mei 1946, menuntut agar pabrik-pabrik dan perkebunan-perkebunan milik dari Kasunanan dan Mangkunegaran segera “dimasyarakatkan”, diserahkan kepada para pegawai mereka dan buruh-buruh pabrik dan perkebunan. Tentu saja pihak pemerintah sendiri pada awalnya merasa kewalahan dengan serangkaian tuntutan dari gerakan tersebut. Akhirnya melalui Menteri Dalam Negeri, pemerintah mengadakan pembicaraan dengan pihak kedua “kerajaan” tersebut. Tuntutan tersebut sangatlah rasional, mengingat demokrasi dan cita-cita keadilan sosial tidak bisa dihindari lagi di negeri yang memasuki era pasca kolonial ini.
Berbagai tindakan yang terjadi di bawah tersebut, oleh pemerintah RI dijadikan referensi untuk melanjutkan langkah percobaan dari gagasan reforma agraria. Langkah percobaan berikutnya, pemerintah bersama berbagai organisasi kaum tani (BTI, STII dan PETANI) membentuk panitia tanah konversi pada tahun 1948. Panitia tersebut mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) guna memperbaiki Peraturan Sewa Tanah dari tanah milik para Pangeran dan Bangsawan Keraton (Vorstenlandsche Grondhuurreglement). Tanah konversi yang ada di Yogyakarta dan Surakarta, selama masa penjajahan sudah selalu menimbulkan masalah, khususnya yang berhubungan dengan “uang dongklakan” dan “uang kasepan”. Pada saat sudah merdeka masalah ini perlu diatur lebih jelas. Kemudian keluarlah UU nomor 13 tahun 1948, yang berakibat ditutup 40 perusahaan gula di Yogyakarta dan Surakarta. Tujuan dari pelaksanaan ini mengakhiri persaingan mengenai penguasaan sumber-sumber agraria yang tidak seimbang, antara perusahaan gula yang besar dan kuat dengan petani yang tidak terorganisir.
IV.       Postulat Pembangunan yang Berkeadilan
Perubahan agraria dapat menjadi salah satu tujuan utama dari sebuah revolusi sosial. Namun pemerintahan-pemerintahan yang lebih bertujuan untuk merintangi daripada mendorong revolusi lazimnya menganjurkan, dan kadang-kadang mencoba melakukan perubahan agraria yang kurang radikal. Namun adalah justru watak keterbatasan perubahan-perubahan yang diberlakukan itu yang lazimnya menghalangi mereka mencapi tujuan mereka yang sebenarnya: diciptakannya syarat-syarat yang menguntungkan bagi suatu peningkatan produksi pertanian (Wertheim, 1999:457).
Kendati mengalami ketersendatan sebagaimana disebutkan di atas, namun akibat desakan dari bawah dan kesadaran dari sebagian elit politik akan sebagai bangsa agraris, tentu saja untuk melaksanakan pembangunan ekonomi nasional, kaum tani merupakan subyek utama. Mengingat golongan ini merupakan golongan terbesar yang ada di Republik Indonesia. Karenanya tuntutan kaum tani Indonesia yang paling pokok, yaitu tanah harus dipenuhi. Sehingga semboyang tanah untuk kaum tani, sudah dapat dipastikan bergema di setiap negara pasca kolonial. Oleh karena, yang dibutuhkan kemudian adalah payung hukum untuk melegitimasi keinginan rakyat tani tersebut.
4.a.      Mengukuh dalan Kebijakan Politik
Gaung gerakan ”revolusi sosial” dari bawah begitu kuat, ditambah lagi praktek percobaan telah dilakukan dengan baik menunjukkan kalau gagasan reforma agraria di Indonesia membutuhkan payung politik yang lebih solid. Dibentuklah Panitia Agraria Yogyakarta (PAY), berdasar Surat Penetapan Presiden No. 16, tanggal 12 Mei 1948. Panitia ini diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo, dengan anggota yang terdiri dari: pejabat utusan dari kementrian dan jawatan-jawatan, wakil organisasi-organisasi petani yang juga anggota BP KNIP, wakil dari Serikat Buruh Perkebunan dan ahli-ahli hukum, khususnya ahli hukum adat. Setelah bekerja sekian lama, PAY mampu menghasilkan sebuah laporan yang disampaikan kepada Presiden pada tanggal 3 Februari 1950.
Sementara itu untuk mewujudkan agenda bangsa yang terwujud dalam gagasan reforma agraria, pemerintah melanjutkan kepanitiaan agraria dengan membubarkan PAY pada tanggal 9 Maret 1951. Atas dasar pertimbangan perpindahan kekuasaan negara ke Jakarta dari Yogyakarta, melalui SK Presiden No. 36 tahun 1951 membentuk Panitia Agraria Jakarta (PAJ). Panitia ini mempunyai tugas yang hampir sama dengan panitia sebelumnya, yang juga diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo. Untuk semakin mengukuhkan komitmen terhadap pelaksanaan agenda reforma agraria Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden No. 55 tahun 1955, pada tanggal 29 Maret 1955 membentuk Kementerian Agraria. Kementerian Agraria ini dibentuk pada masa kabinet Ali Sastroamidjojo I. Tugas dari kementerian ini antara lain mempersiapkan pembentukan Undang-undang agraria nasional yang mengacu pada pasal 25, 37 ayat 1 dan 38 ayat 3, Undang-undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Kendati begitu PAJ masih terus melaksanakan pekerjaannya. Termasuk saat terdapat pergantian ketua PAJ dari Sarimin Reksodihardjo ke Singgih Praptodihardjo, PAJ masih terus bekerja. Sampai tahun 1956, manakala PAJ dianggap tidak mampu menyusun sebuah rancangan undang-undang, panitia ini dibubarkan. Melalui Keputusan Presiden RI No. 1 Tahun 1956, yang dikeluarkan pada tanggal 14 Januari 1956 dibentuk Panitia Negara Urusan Agraria. Ketua dari panitia ini adalah Soewahjo Soemodilogo (Sekretaris Djendral Kementerian Agraria), yang beranggotakan penjabat dari pelbagai Kementerian dan Jawatan, ahli-ahli hukum adat dan wakil-wakil dari berbagai organisasi tani. Panitia ini kemudian lebih dikenal dengan istilah Panitia Soewahjo.
Berdasar atas semua dokumen dari panitia sebelumnya, Panitia Soewahjo berhasil merumuskan sebuah rancangan undang-undang tentang agenda reforma agraria. Hasil rancangan tersebut kemudian diserahkan kepada Menteri Agraria pada tanggal 6 Februari 1958. Setelah menyelesaikan pekerjaannya dengan baik Panitia Soewahjo ini dibubarkan, karena tugasnya telah selesai. Kemudian pihak Kementerian Agraria melakukan pembacaan ulang dokumen dari Panitia Soewahjo tersebut. Terdapat beberapa perubahan sistematika dan perumusan baru sejumlah pasal, sehingga menjadi dokumen baru yang lebih dikenal dengan rancangan Soenarjo (Menteri Agraria). Kemudian, rancangan ini diajukan ke Dewan Menteri pada tanggal 14 Maret 1958. Pada sidangnya ke-94 tanggal 1 April 1958, Dewan Menteri menyetujui Rancangan Soenarjo tersebut. Kemudian berdasarkan Amanat Presiden No. 1307/HK tanggal 24 April 1958, Rancangan Soenarjo diajukan ke DPR. Pada tanggal 16 Desember 1958, dalam Sidang Pleno DPR, Menteri Agraria memberikan jawaban atas pandangan umum DPR. Mengingat reforma agraria merupakan gagasan yang sangat strategis maka DPR membentuk panitia ad hoc yang diketuai oleh AM Tambunan. Panitia ad hoc ini mendapat masukan dari 2 (dua) institusi: (i) Seksi Agraria Universitas Gajah Mada yang diketuai oleh Prof. Notonagoro, dan (ii) Ketua Mahkamah Agung, Wirjono Prodjodikoro.
Kendati terdapat gonjang-ganjing politik paruh kedua tahun 1950-an, namun mengingat keberadaan gagasan reforma agraria ini sebagai agenda bangsa tetap dijalankan. Bahkan berdasarkan cantolan konstitusi, manakala Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, salah satunya tentang berlakunya kembali UUD 1945, maka Rancangan Soenarjo yang cantolannya memakai UUDS 1950 ditarik kembali dengan Surat Pejabat Presiden tanggal 23 Mei 1960 No. 1532/HK/1960. Pemerintah dengan segera melakukan penyesuaian dan penyempurnaan Rancangan Soenaryo dengan UUD 1945 dan berdasar atas Manifesto Politik Indonesia (pidato Presiden Soekarno, 17 Agustus 1959). Setelah penyempurnaan Rancangan Soenarjo berubah menjadi Rancangan Sadjarwo, mengingat pergantian Menteri Agraria dari Soenarjo ke Sadjarwo. Rancangan Sadjarwo ini kemudian disetujui oleh Kabinet Inti dalam sidangnya pada tanggal 22 Juli 1960 dan oleh Kabinet Pleno dalam sidangnya 1 Agustus 1960. Berdasar atas Amanat Presiden No. 2584/HK/60 tertanggal 1 Agustus 1960, Rancangan Sadjarwo ini diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR).
Selanjutnya DPR-GR melakukan serangkaian pembahasan pendahuluan dalam siding-sidang komisi yang bersifat tertutup, pemandangan umum hingga siding-sidang pleno. Setelah melakukan serangkaian pembahasan tersebut, pada tanggal 14 September 1960 DPR-GR yang merupakan representasi politik dari berbagai kekuatan politik di Indonesia (kekuatan politik Nasionalis, Islam, Komunis dan Golongan Karya) menyetujui bahwa gagasan agenda bangsa tersebut akan dijalankan. Kemudian pada hari Sabtu, 24 September 1960 RUU tersebut disahkan oleh Presiden Soekarno menjadi UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang menurut diktumnya yang kelima dapat disebut, dan selanjutnya memang lebih terkenal, sebagai Undang-undang Pokok Agararia (UUPA). UUPA diungkapkan dalam Lembaran Negara Tahun 1960 No. 104, sedang penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara No. 2043.
Disahkannya UUPA 1960 ini menegaskan kembali bahwa untuk mencapai tujuan revolusi Indonesia harus dihapuskan kelas-kelas tuan tanah, mengurangi buruh tani dan memberikan tanah hanya kepada mereka yang mengerjakan sendiri, melalui pelaksanaan Land Reform. Land Reform menjadi strategi yang mengatasi ketimpangan yang terjadi karena perbedaan penguasaan tanah. Praktek Land Reform ditujukan untuk pemerataan pendapatan dan menyusun suatu dasar bagi produktifitas yang tinggi. Pada dasarnya ada 3 (tiga) tujuan dari pembentukan UUPA. Pertama, peletak dasar hukum agraria nasional yang sekaligus merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani  dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Kedua, peletak dasar kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum agraria. Artinya hanya ada satu aturan hukum agraria yang bersifat nasional yang mengakhiri politik hukum agraria kolonial yang bersifat dualistis dan rumit. Ketiga, Pelatak dasar bagi kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Sementara itu untuk mencapai berbagai tujuan tersebut, dalam UUPA terkandung beberapa prinsip pendukungnya: (i) prinsip nasionalitas; (ii) prinsip hak menguasai dari Negara; (iii) prinsip tanah mengandung fungsi sosial; (iv) prinsip Land Reform; (v) prinsip perencanaan agrarian.
Pidato Menteri Agraria, Mr Sadjarwo pada tanggal 12 September 1960 di depan DPR-GR menyatakan lima tujuan landreform di Indonesia.
  1. Untuk mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat petani yang berupa tanah, dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil pula, dengan merombak struktur pertanahan yang sama sekali baru secara revolusioner, guna merealisir keadilan sosial.
  2. Untuk melaksanakan prinsip tanah untuk petani, agar tidak terjadi lagi tanah sebagai objek spekulasi dan objek pemerasan.
  3. Untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita, yang berfungsi sosial. Suatu pengakuan dan perlindungan terhadap privat bezit, yaitu hak milik sebagai hak yang terkuat, bersifat perseorangan dan turun-menurun, tetapi yang berfungsi sosial.
  4. Untuk mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan penguasaan tanah secara besar-besaran dengan tak terbatas, dengan menyelenggarakan batas maksismum dan batas minimum untuk tiap keluarga. Sebagai kepala keluarga dapat seorang laki-laki ataupun wanita. Dengan demikian mengikis pula sistem liberalisme dan kapitalisme atas tanah, dan memberikan perlindungan terhadap golongan ekonomi lemah.
  5. Untuk mempertinggi produksi nasional dan mendorong terselenggaranya pertanian yang intensif secara gotong royong dalam bentuk koperasi dan bentuk gotong royong lainnya, dibarengi suatu sistem perkreditan yang khususnya ditujukan kepada golongan petani.
4.b.      Tuntutan Penataan Struktur Agraria
Pada periode 1950-an ditandai dengan terjadi tarik menarik di ruang kesempatan politik antara kekuatan yang ingin mendorong percepatan agenda reforma agraria dengan pandangan colonial mode of development. Tampaknya ini merupakan keniscayaan di negara pasca kolonial, seperti Indonesia. Dominasi modal kolonial asing tidak saja masih beroperasi, tapi juga masih memainkan dominasi keuangannya pada berbagai sektor dan segala lapisan perekonomian. Untuk kasus Indonesia pada periode 1950-1957 dominasi keuangan tersebut salah satunya terpusat pada industri perkebunan. Setidaknya ada lima modal asing yang memainkan perekonomian Indonesia yang dikenal dengan the big five, NV Internatio, NV Borsumij, NV Jacobson van den Berg, NV Lindeteves, dan NV Goe Wehry & Co.
Akibat dominasi tersebut, selain masalah kemiskinan yang relatif tinggi dan kesenjangan sosial-ekonomi menjadi semakin melebar. Distribusi terhadap akses ekonomi tentu saja tidak tersebar secara merata. Menurut laporan badan statistik menunjukkan situasi perekonomian yang dihadapi Indonesia pasca penyerahan kedaulatan (1949) tingkat kesejahteraan penduduk justru merosot jauh, yang itu juga ditandai dengan turunnya tingkat kesehatan masyarakat. Pada tahun 1951 pendapatan per kapita orang Indonesia hanya mencapai sebesar 28,3 gulden, yang itu artinya lebih rendah dari pendapatan per kapita orang Indonesia pada masa krisis ekonomi dunia, jaman melaise (1930), yang mencapai sebesar 30 gulden. Tidak itu saja, perekonomian nasional juga mengalami kemunduran yang luar biasa, yang itu tampak pada produksi yang dihasilkan oleh berbagai perusahaan perkebunan.
Pada babak ini, beberapa studi menunjukkan bagaimana dominasi pemikiran yang berdasar atas pandangan colonial mode of development juga sangat gencar untuk menghentikan radikalisasi massa rakyat dalam rangka mewujudkan reforma agraria. Bisa jadi hal ini memang kelemahan elit di negara-negara pasca kolonial yang mulai meninggalkan cita-cita revolusinya, lebih memilih bernegosiasi dengan kekuatan modal kolonial. Apa yang terjadi pada negosiasi antara Indonesia dengan pihak Belanda selama Konferensi Meja Bundar (KMB), melalui Persetujuan Keuangan Ekonomi (Financieel Economische Overeenkomst Finec) pihak Belanda mengajukan berbagai usulannya dalam rangka mewujudkan tekad keuntungan bisnisnya di bekas negara jajahannya. Akibat dari dominasi pandangan colonial mode of development tersebut proses negosiasi tersebut tanpa perlawanan yang berarti. Akibat selanjutnya cita-cita mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat terhambat. Bagi BTI, kekuasaan modal kolonial Belanda yang monopolistik dipulihkan kembali akibat KMB yang khianat, kaum monopolis. Belanda berusaha kembali merampas tanah-tanah kaum tani Indonesia.
Berbagai persoalan penghambat untuk mewujudkan cita-cita kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial semakin mengukuhkan pemikiran bahwa sesungguhnya reformasi agraria merupakan postulat pembangunan nasional yang berkeadilan. Kesempatan ini terus dimanfaatkan untuk mengkampanyekan gagasan ini. Pada tanggal 20 Februari 1953, Pemerintah RI mengadakan Konferensi Agraria di Jakarta yang dibuka resmi oleh Menteri Dalam Negeri Mr. Mohammad Roem yang membahas masalah-masalah politik agraria dan bagaimana birokrasi yang menyertainya.
Merupakan kenyataan sejarah pula, reforma agraria sesungguhnya adalah agenda massa rakyat pedesaan yang menginginkan keadilan dan kemakmuran ada di tangannya. Hampir semua amatan atas gerakan rakyat dipedesaan menunjukkan bahwa perubahan politik nasional mampu mempengaruhi bagaimana susunan kekuasaan di pedesaan dipertaruhkan. Distribusi kekuasaan pedesaan di negara-negara pasca kolonial ikut membentuk dan dibentuk oleh politik nasional. Karenanya tuntutannya massa rakyat tani di Indonesia pada periode 1950-an tidak lagi bersifat sektoral, tapi sudah melancarkan desakan-desakan ke negara dengan tema yang sangat nasionalistik, seperti “nasionalisasi semua tanah” dan “hak negara atas semua tanah”, serta “tanah untuk petani”.
Gerakan dari kaum rakyat inilah yang kemudian membentuk, pemerintah RI segera mengeluarkan UU No. 8 Darurat tahun 1954 yang mengatur soal penyelesaian atas pendudukan dan penggarapan tanah-tanah bekas perusahaan perkebunan. UU ini kemudian diubah dan ditambah dengan UU Darurat No. 1 tahun 1956 dan akhirnya diganti dengan UU No. 51 Prp tahun 1960 yang mengatur penyelesaian tanah-tanah bekas perkebunan, bekas hutan dan tanah-tanah lain yang telah dikerjaan oleh rakyat.
Dalam perspektif UU ini, segala tindakan menduduki dan menggarap lahan, bekas perusahaan perkebunan partikelir milik Belanda yang terlantar, oleh massa rakyat tani tidak dinyatakan sebagai perbuatan penyerobotan yang melanggar hukum, melainkan bisa diselesaikan dengan dua cara sebagai berikut: Pertama, bagi massa rakyat tani yang menduduki tanah milik perusahaan perkebunan yang telah dikuasai oleh negara, kemudian diberikan dengan sesuatu hak kepada massa rakyat tani dan penduduk lainnya setelah memenuhi syarat yang ketentuannya diatur oleh Menteri Agraria. Kedua, sementara itu bagi pihak perusahaan perkebunan yang diduduki tanpa seijin mereka tersebut maka akan diadakan penyelesaian melalui perundingan dengan keharusan memenuhi unsur-unsur: Panitia Penyelesaian, Rakyat dan Perusahaan.
Menurut Bachriadi keluarnya UU No. 8 Darurat tahun 1954 sesungguhnya merupakan “kemenangan” secara hukum bagi massa rakyat tani penggarap Indonesia. UU tersebut mengakui dan dengan sendirinya mengesahkan pendudukan lahan perkebunan partikelir di wilayah republik yang baru merdeka. Legitimasi hukum ini juga digunakan oleh berbagai kekuatan politik kaum tani bersama golongan demokratis lainnya menjalankan aksi-aksi dalam rangka pengambilalihan berbagai perusahaan-perusahaan modal kolonial Belanda. Berbagai aksi tersebut mampu mendorong Pemerintah RI untuk melakukan nasionalisasi berbagai perusahaan modal kolonial. Sayangnya, Pemerintah RI tidak mengganggu gugat keberadaan modal asing lainnya seperti BPM, Shell dan Unilever.
Tentu saja ini lagi-lagi akibat kesalahan jalannya strategi politik diplomasi, masih kuatnya pandangan colonial mode of development yang kemudian direspon oleh gerakan kaum tani di pedesaan merupakan situasi keagrariaan di Indonesia pada periode 1950-an. Pada titik inilah pandangan agenda reforma agraria menjadi tumpuan utama, menjadi postulat pembangunan nasional berkeadilan yang harus segera diwujudkan.
V.        Melaksanakan Reforma Agraria sebagai Agenda Bangsa
Melaksanakan Landreform berarti melaksanakan satu bagian jang mutlak dari Revolusi Indonesia, Landreform disatu fihak berbarti menghapuskan sega hak2 kolonial atas tanah dan mengachiri penghisapan feudal setjara berangsur2, dilain fihak Landreform berarti memperkuat dan memperluas petani pemilikan tanah untuk seluruh Rakjat Indonesia, terutama kaum tani. Djalan Revolusi Kita (Djarek).Landreform sebagai bagian mutlak daripada Revolusi Indonesia adalah basis pembangunan semesta jang berdasarkan prinsip, bahwa tanah sebagai alat produksi tidak boleh didjadikan alat penghisapan. (Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960).
Dinamika pelaksanaan reforma agraria pada dasarnya terletak pada tarik menarik antara kekuatan pasar dan pemerintah dalam menjalankan agenda ini. Walaupun UUPA merupakan produk hukum positif yang mengalir dari Pancasila (khususnya sila Keadilan Sosial sekaligus merupakan tujuan didirikannya negara) dan UUD 1945 (khususnya pasal 33 ayat 3). Ini bukan sebagai kulminasi dari gerakan reforma agraria, tapi merupakan tahapan pertama dan terpenting dalam sejarah mewujudkan keadilan dan kemakmuran rakyat. Sebuah tahapan yang mengakomodasi kepentingan masyarakat dalam suatu negara modern yang disesuaikan dengan cita-cita dasar kebangsaan, serta dalam hubungannya dengan dunia internasional. Sehingga yang dibutuhkan kemudian bagimana proses transformasi dalam praksis ideologi di tingkatan lapangan. Sebuah tindakan menjalan praktek politik dari reforma agraria dalam rangka mewujudkan agenda bangsa. Akan tetapi, mengingat tarik menarik pelaksanaan reforma agraria sebagaimana disebutkan di atas merupakan hal yang terelakkan dalam praktek politiknya.
Tarik menarik diantara keduanya dalam penerapannya, di negara-negara pasca kolonial merupakan keniscayaan, yang menyebabkan lambatnya pelaksanaan agenda landreform. Untuk kasus Indonesia, di samping kedua hal tersebut gangguan yang bersifat politik untuk memperoleh kembali kedaulatan atas Irian Barat dan konfrontasi dengan Malaysia. Sehingga, meskipun UUPA diundangkan tahun 1960, semua proses landreform dilakukan proses redistribusi yang sedianya dilaksanakan dalam 3 (tiga) tahap. Pertama, pendaftaran tanah berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961. Kedua, penentuan tanah lebih serta pembagiannya kepada sebanyak mungkin petani tidak bertanah berdasar atas Peraturan Pemerintah No 224 tahun 1961. Ketiga, pelaksanaan UUPBH. Akan tetapi semua itu baru pada tahun 1963 tersusun daftar wilayah yang dapat diredistribusikan tanahnya, seluas 337.000 ha (Jawa, Madura, Bali dan Lombok). Kelambanan jalannya agenda landreform juga terletak pada ketidaksiapan birokrasi. Kendati terdapat kontrol yang kuat dari organisasi massa rakyat untuk menjalankan, namun watak birokrasi Indonesia kala itu masih melekat warisan dari sistem beambtenstaat. Suatu sistem kenegaraan yang ditopang oleh pegawai (pangreh praja) melalui pemerintahan yang bersifat indirect role. Akibatnya, ketidaksiapan birokrasi ini dapat dilihat dari tidak berlangsungnya koordinasi strategis antara masing-masing departemen yang terkait dalam pelaksanaan agenda landreform.
Sebagaimana disebutkan di atas, pelaksanaan reforma agraria adalah agenda kerakyatan untuk mewujudkan cita-cita kebangsaan, tentu saja pada awalnya mendapat dukungan penuh dari berbagai organisasi rakyat tani. Akibat berbagai kelambanan di atas, Barisan Tani Indonesia (BTI) yang memiliki kedekatan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), dengan greget penuh emosi, mencoba membantu komite landreform dengan melakukan sendiri redistribusi tanah. Greget emosi yang terlalu berlebihan tersebut dalam praktek politiknya hadir dalam bentuk rasa ketidaksabaran. Tindakan sangat terkesan terlalu dini tersebut dikenal dengan istilah aksi sepihak yang kemudian melahirkan salah paham atas proses ketidaksabaran tersebut sebagai tantangan. Akibatnya menyuburkan sikap oposisi dari para tuan tanah dan ketegangan di pedesaan Jawa antara kekuatan muslim tradisional (Nahdlatul Ulama’) dengan BTI. Yang terjadi kemudian adalah tindakan yang cenderung mengarah pada politisasi dan mobilisasi yang menafikan arti pentingnya pelaksanaan agenda reforma agraria.
Kendati terdapat ketegangan kehidupan sosial-politik di pedesaan, pada akhir Desember 1964 dan 14 Januari 1965, Menteri Agraria melaporkan proses redistribusi (pembagian) tanah kelebihan di Jawa, Madura, Bali, Lombok dan Sumbawa (seluruh tahapan I) telah diselesaikan dengan baik. Tanah yang diredistribusi terdiri dari tanah milik dan tanah negara yang berlebihan, termasuk tanah kerajaan. Adapun luasan tanah yang telah diredistribusi sebelum berlangsungnya kudeta gagal pada tahun 1965 adalah tanah negara seluas 454.966 ha yang dibagikan kepada 568.862 orang. Sementara itu terdapat tanah seluas 165.764 ha yang sebagian besar berada di Sumatera Utara tidak berhasil diredistribusikan.Sebagai akibat dari ketegangan kehidupan sosial-politik di pedesaan, jalannya reforma agraria sebagai agenda bangsa tersendat. Landreform disalahpahami sebagai gerakan komunis, sehingga kekuatan politik yang kuatir dengan perkembangan PKI mulai memperlambat agenda populis tersebut. Ujung dari cara memperlambatnya adalah berlangsungnya kudeta gagal 1965. Sebagimana telah disebutkan di atas, bahwa gerakan reforma agraria tidak saja mempengaruhi tapi juga dipengarui oleh situasi politik nasional bahkan global. Walaupun kudeta gagal merupakan gerakan di perkotaan, yang merupakan bagian dari situasi politik global yaitu perang dingin juga berimplikasi pada gerakan reforma agraria di pedesan.
Berawal dari tarik menarik pelaksanaan agenda reforma agraria antara kekuatan pasar dan pemerintah, kemudian berlanjut dengan adanya ketegangan kehidupan sosial-politik di pedesaan merupakan kondisi objektif bagi kekuatan militer untuk menghentikan agenda reforma agraria. Proses penghentiannya pun mendapat legitimasi dengan adanya tragedi kemanusiaan 1965-1966, sehingga agenda reforma agraria dihentikan secara total berganti agenda pembangunan nasional yang mengabdi pada kekuatan pasar.
VI.       Memfasilitasi Peran Pasar
Seakan menemukan momentunya, kekuatan pasar melalui Rezim Politik Orde Baru tampil di pucuk kekuasaan di Indonesia. Bagi rezim ini periode sebelumya dianggap lebih mengutamakan kepentingan politik yang dalam prakteknya melahirkan konflik-konflik sosial. Pagi-pagi sekali rezim politik ini membangun imaginasi politiknya bahwa pelaksanaan reforma agraria di Indonesia telah gagal dijalankan.
Dengan cepat pula, Orde Baru melakukan “tranformasi” kesalahpahaman terhadap reforma agraria. Pertama, pelaksanaan reforma agraria melahirkan konflik horisontal. Kedua, UUPA 1960 merupakan produk dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Ketiga, UUPA 1960 “melahirkan” tragedi kemanusiaan 1965-1966. Keempat, pelaksanaan reforma agraria harus dilaksanakan dengan jalan aksi sepihak. Kelima, pelaksanaan reforma agraria “dituduh” sebagai satu agenda politik terselubung dalam rangka perebutan kuasa. Tentu saja bisa dilanjutkan berbagai kesalahpahaman mengenai pelaksanaan reforma agraria di Indonesia pada awal tahun 1960-an.
Proses “transformasi” kesalahpahaman tersebut sengaja dilakukan dalam rangka memperkuat status quo suatu orde. Rezim politik Orde Baru dibangun atas dasar konsensus nasional yang mementingkan stabilisasi, rehabilitasi dan pembangunan nasional yang mengarah pada kepentingan pasar. Tentu saja konsensus nasional ini menolak adanya gagasan yang mendasarkan pada perubahan struktur sosial-politik dan ekonomi secara radikal.
Di lain pihak, kalangan pro pasar Internasional sedang hangat-hangatnya mengguliran suatu konsep revolusi hijau. Pada saat berkuasanya rezim politik Orde Baru pada saat yang kurang lebih bersamaan dengan dimulainya revolusi hijau di Asia. Suatu pandangan pragmatis yang dipahami dapat meningkatkan produksi pangan. Dari sinilah kemudian revolusi hijau menjadi sentral bagi paradigma pembangunan nasional Indonesia di bawah rezim politik Orde Baru. Akibatnya, ini sebagai petanda bahwa masalah-masalah mengenai pertanahan seakan menjadi hilang dari ingatan bangsa Indonesia.
Rezim politik Orde Baru tidak berniat melanjutkan agenda reforma agraria di Indonesia. Bahkan dalam program Rencana Pembangunan Lima Tahun Pertama (REPELITA I, 1969-1974) tidak ditemui lagi secara eksplisit program agenda bangsa ini. Titik berat pembangunan yang dijalankan oleh rezim politik Orde Baru terletak pada proyek-proyek intensifikasi pertanian berskala luas dengan biaya dari bantuan luar negeri.
Bagi Orde Baru masalah reforma agraria hanya sebagai masalah teknis. Tanah bukan merupakan dasar dari proses pembangunan nasional, melainkan menjadi masalah rutin birokrasi pembangunan. Pada aras kelembagaan, yang mengurus masalah ini tidak lagi berstatus Kementerian, lebih birokrasi teknis urusan pertanahan. Portofolionya “diturunkan” pada urusan birokrasi pertanahan. Selain itu, UUPA juga “diturunkan” statusnya, tidak lagi menjadi payung hukum pada masalah-masalah agraria. Selanjutnya Orde Baru melahirkan beberapa UU yang bertentangan dengan UUPA, seperti UU No. 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing dan UU No. 5 tahun 1967 tentang ketentuan pokok tentang kehutanan. Tidak itu saja, Orde Baru juga menghapus legitimasi partisipasi organisasi kaum tani dalam program reforma agraria. Padahal reforma agraria merupakan agenda kerakyatan yang aktor utamanya adalah kaum tani itu sendiri. Rezim politik Orde Baru membentuk organisasi massa petani “boneka”, seperti Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI).
Akibat berbagai kebijakan yang bersifat by pass approach, ciri utama dari Orde Baru adalah munculnya berbagai kasus sengketa agraria. Bentuk sengketanya bermacam-macam: akibat dari penggusuran yang sewenang-wenang, masalah ganti rugi, masalah izin lokasi, pemaksaan penanaman tanaman tertentu dan pelecehan hak-hak masyarakat adat. Setidaknya ada 4 (empat) pola konflik yang terjadi sepanjang berkuasanya rezim politik Orde Baru: (i) rakyat melawan pemerintah; (ii) rakyat melawan perkebunan dan kehutanan; (iii) rakyat melawan swasta; (iv) rakyat melawan militer.
Dalam praktek politiknya rezim Orde Baru menjalan tiga tingkatan untuk menghentikan perlawanan rakyat. Pertama, memaksakan proses ideologisasi negara. Sepanjang Orde Baru praktek ideologisasi ini dilakukan secara massif dalam bentuk penataran-penataran P4 untuk semua lapisan masyarakat. Kedua, seringkali melakukan stigmatisasi. Apabila terdapat kelompok masyarakat yang menolak gagasan pembangunan mengingat selalu melakukan praktek penggusuran secara sewenang-wenang, dengan segera kelompok tersebut mendapat tuduhan: anti pembangunan, melawan negara, PKI, anti Pancasila dan sederet stigma politik. Ketiga, tidak jarang melakukan scurity approach, apabila terjadi perlawanan dari rakyat. Berbagai kasus sengketa agraria sepanjang berkuasanya rezim politik Orde Baru penyelesaiannya selalu dengan pola kekerasan. Dan pihak rezim selalu cenderung berpihak pada kekuatan modal.
Oleh karena itu pada periode ini sepi pembicaraan resmi mengenai reforma agraria. Kendati begitu terdapat gerakan reforma agraria baru yang tidak memiliki kaitan dengan masa lampau. Secara otodidak, melihat penindasan oleh bangsa sendiri terhadap kaum tani Indonesia, mampu mendorong kesadaran baru pada paruh awal tahun 1990-an. Gerakan reforma agraria secara “sepoi-sepoi” ini dipelopori oleh aktifis gerakan rakyat, aktifis mahasiswa. Sehingga gelora gerakan reforma agraria di Indonesia saat ini tidak bisa menafikan keberadaan gerakan pada periode ini.
VII.     Menyiapkan Reforma Agraria dari Bawah
Pada prinsipnya gerakan agraria adalah suatu usaha, upaya dan kegiatan yang dilakukan secara kolektif atau bersama, dengan tujuan untuk merombak tata sosial di bidang agraria, karena tata yang ada dianggap tidak adil dan tidak sesuai sebagai dasar bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. (GWR, 196) Karenanya yang dibutuhkan adalah kesadaran bersama untuk tidak saja atas pentingnya pelaksanaan agenda reforma agraria di Indonesia, tapi juga ia menjadi gerakan bersama.
Kalau dilihat saat ini proses gagasan reforma agraria belum menjadi agenda bersama di negara. Memang pada pertengahan tahun 2005, Ketua BPN-RI Dr. Joyo Winoto menggelorakan kembali gagasan reforma agraria ini. Kemudian disusunlah rencana PPAN. Dalam perjalanannya, konstelasi politik nasional agaknya belum kondusif untuk menggelorakan gerakan reforma agraria dalam arti yang sesungguhnya. Bahkan BPN-RI menghadapi “fait a compli”. Belum sempat pimpinan BPN-RI menyusun rencana reforma agraria yang genuine, keburu kedahulan oleh pernyataan pemerintah guna membagi-bagikan seluas 9,15 juta hektar kepada rakyat. Citranya kemudian “seolah-olah” reforma agraria itu sekedar mambagi-bagi tanah. Celakanya lagi timbul tafsiran, “RA yang dibagi hanya tanah negara, sementara tanah-tanah luas yang dikuasai oleh segelintir orang dan sudah bersertifikat tidak akan dikutak-kutik. Padahal, ujung dari reforma agraria adalah merombak struktur social-ekonomi masyarakat, menata-ulang struktur sebaran pemilikan, penguasaan, dan pengunaan tanah untuk kepentingan rakyat kecil. Sehingga seharusnya semua akan terkena perombakan. Sekarang yang terjadi adalah reforma agraria disandera oleh land distribution, bagi-bagi tanah dalam arti di atas, dan land registration (pendaftaran tanah) pemberian hak di atas tanah negara berupa sertifikat pemberian hak di atas tanah negara.
Sehingga dibutuhkan beberapa beberapa syarat untuk ia menjadi gerakan bersama.
  • Niat kuat (strong will) dari Pemerintah RI untuk menyusun agenda ini menjadi agenda negara dan gerakan bersama. Landasan untuk pelaksanaan atas gerakan ini juga sangat kuat. UUPA 1960 merupakan kebijakan yang lahir dari aliran falsafah negara yaitu Pancasila dan konstitusi UUD 1945. Hal itu kemudian diperkuat dengan TAP MPR/IX/1999.
  • Untuk pelaksanaannya dibutuhkan dukungan dari birokrasi, baik level yang paling tinggi hingga paling rendah. Tidak itu saja, perlunya dukungan dari kekuatan militer, mengingat penataan ulang struktur agraria yang lebih adil memiliki arti strategis. Penataan tersebut tidak hanya dalam arti geografis bagi militer, tapi juga sebagai alat produksi (unsur logistik). Mengorganisir pertanahanan suatu negara harus dimengerti mengorganisir dalam hubungan tanah, rakyat dan militer. Lebih jauh dari itu menyusun kekuatan pertahanan berarti juga menjadikan hubungan tanah, rakyat dan militer sebagai sesuatu kekuatan yang integral.
  • Terdapatnya kesadaran masyarakat tidak saja bagi subjek landreform, tapi juga masyarakat secara keseluruhan. Kesadaran ini berbasiskan bahwa pelaksanaan agenda reforma agraria sebagai postulat pembangunan nasional berkeadilan. Tidak berhenti bagi subjek penerima manfaat langsung (penerima lahan). Lebih dari itu, dalam jangka panjang manfaat ini juga diterima oleh masyarakat lainnya.
  • Untuk obyektifitas pelaksanaan gerakan reforma agraria dibutuhkan suatu proses penelitian yang komprehensif. Agaknya sudah lama tidak ada proses penelitian yang komprehensif yang melibatkan organisasi rakyat yang mandiri. Proses partisipasi dari masyarakat bisa dibangun dari proses penelitian ini.*)
Tulisan ini tidak akan lahir tanpa diskusi mendalam dengan beberapa kawan yang tergabung dalam Lingkar Belajar Bersama Reforma Agraria (LIBBRA): Noer Fauzi Rahman, Laksmi Savitri dan Muhammad Shohibuddin. Hutang intelektual kepada mereka sangat susah untuk dibayar. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk pelunasan, namun lebih sebagai bagian dari dialog dari LIBRA itu sendiri.
Dosen (muda) Sejarah Agraria di Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Jember. Ketua Majelis Perwakilan Anggota (MPA) Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA) periode 2005-2009 dan Sekretaris Majelis Syarikat Indonesia periode 2006-2009, keduanya adalah NGO’s Nasional yang berkantor di Yogyakarta.
Pelaksanaan agenda Reforma Agraria di Indonesia pada paruh awal tahun 1960-an, oleh sebagian kalangan dinyatakan gagal. Kalau dilihat lebih jauh sebenarnya pelaksanaan tersebut tidak mengalami kegagalan, karena baru tahap pertama berjalan kemudian digagalkan oleh perilaku politik yang menafikan nilai-nilai kemanusiaan tahun 1965-1966.
Terdapat 7 (tujuh) tujuan PPAN: (i) menata kembali ketimpangan struktur penguasaan dan penggunaan tanah ke arah yang lebih adil; (ii) mengurangi kemiskinan; (iii) menciptakan lapangan kerja; (iv)  memperbaiki akses rakyat kepada sumber-sumber ekonomi, terutama tanah; (v) mengurangi sengketa dan konflik pertanahan; (vi) memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup; dan (vii) meningkatkan ketahanan pangan rakyat Indonesia dan ketahanan energi nasional.
historical explanation Proses eksplanasi suatu peristiwa sejarah (bisa jadi) lebih mudah untuk ditampilkan, ketimbang melakukan analisis mengenainya. Lebih dalam, analisis suatu proses sejarah seringkali tampak untuk menuntun dari, ketimbang menuju suatu kompleksitas pemahaman peristiwa sejarah. Donald L. Donham, History, Power, Ideology: Central Issues in Marxism and Anthropology, (Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1999), hal:140. Eksplanasi sejarah adalah usaha membuat suatu unit peristiwa masa lampau intelligible (dimengerti secara cerdas). Artinya, proses eksplanasi itu berhubungan dengan hermeneutics dan verstehen (menafsirkan dan mengerti) dalam jangka waktu yang panjang, dan dalam bentuk peristiwa tunggal. Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah (Historical Explanation), (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008), hal: 1 dan 10.
Secara sederhana terdapat tiga babak sejarah kuasa kolonial di pedesaan Jawa: (i) masa VOC abad XVII sampai dengan XVIII;  (ii) masa Tanam Paksa 1830-1870; dan (iii) masa system perkebunan swasta 1870-1941. Clifford Geertz, Agriculture Involution: The Process of Ecological Change in Indonesia, (Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1963), hal 69-70.
Kendati begitu, kaum tani menderita penindasan ganda oleh kolonialis asing dan para penguasa pribumi feodal yang picik. Dalam perkataan lain, kolonial Belanda telah memainkan peranan penguasa lokal dalam rangka menjalankan eksploitasinya, atau yang lebih dikenal dengan istilah indirect rule. Lihat S. Dingley, The Peasant’s Movement in Indonesia, (Berlin: R.L. Prager, TT), hal. 9.
  Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten, Terj. Hassan Basri, Bur Rasuanto (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984).
Berbagai perlawanan dan pemberontakan yang dilancarkan oleh massa rakyat tersebut ditumpas dengan beragam variasi operasi. Untuk skala kecil, pemerintah kolonial cukup melakukan kriminalisasi atas perlawanan rakyat. Apabila masih terjadi perlawanan biasanya dijalankan operasi-operasi represif yang pada tingkat tertentu yang menafikan nilai-nilai kemanusiaan. Sementara dalam pengendalian keseharian pemerintah kolonial melalui kerja sama dengan pihak feodalisme dengan pola indirect rule.
Untuk gerakan rakyat pada periode ini lihat, Arsip Nasional Republik Indonesia, Penerbitan Sumber-Sumber Sejarah N0. 7, Sarekat Islam Lokal, (Jakarta, 1975).
Lebih detailnya lihat pada S. Dingley, Op. cit, khususnya bab III.
Ibid, khususnya bab IV.
Kemerosotan ekonomi di Hindia Belanda menyebabkan defisit luar biasa bagi negara kolonial Belanda. Menurut laporan Jan O.M. Broek, Economic Development of The Netherlands Indies, (Institute of Pacific Relation, 1942) kondisi tersebut terjadi hingga tahun 1935. Untuk salah satu kasus di perkebunan lihat pada AA.199. Memorie van Overgave van de Aftrende Residen Besoeki, 1931-1934.
Mengenai soal pendudukan Fasisme Jepang di Indonesia, baca Aiko Kurasawa, Mobilisasi dan Kontrol, (Jakarta: Grasindo, 1993).
Isi Pembukan UUD 1945.
Paragraf ini mengacu pada pikiran Sudaryanto, Naskah-naskah Pemikiran Pergerakan Kebangsaan: Membasiskan Pancasila, (Buku 1), (Untuk kalangan sendiri, 2008).
Mengenai berbagai kenyataan sejarah yang termaktub di atas bisa dilihat lebih detail pada Franz Magnis-Suseno, Etika Kebangsaan, Etika Kemanusiaan; 79 Tahun Sesudah Sumpah Pemuda, (Yogyakarta: Impulse dan Kanisius, 2008).
Setidaknya terdapat dua rumusan yang mewarnai pandangan atas persoalan keterlibatan dunia internasional ini. Masing-masing pandangan tersebut saling kontradiksi. Pertama, pandangan dari kalangan yang beranggapan bahwa keterlibatan dunia internasional untuk ikut dalam proses awal kemerdekaan sangat dibutuhkan, khususnya masalah investasi asing, untuk sementara dibutuhkan guna menunjang pertumbuhan perekonomian nasional. Kedua, pandangan radikal yang memandang pentingnya dengan segera mungkin diselesaikan oleh republik yang baru berdiri dengan membebaskan perekonomian nasional dari pengaruh kolonial. Inilah yang secara sederhana dirumuskan dalam pendekatan diplomasi dan pendekatan radikal.
Iman Soetiknjo, Politik Agraria Nasional; Hubungan Manusia dengan Tanah yang Berdasarkan Pancasila, cetakan ke 4 (Yogyakarta: UGM Press, 1994), hal, 4.
Tuntutan ini oleh BP-KNIP kemudian diterima dan diakui sebagai program nasional yang representatif. Untuk melihat konsep-konsep mengenai merdeka 100% dapat dilihat pada Tan Malaka, Merdeka 100 %, Tiga Percakapan Ekonomi Politik, (Tangerang: Marjin Kiri, 2005).
Ini merupakan bagian dari revolusi sosial. Lihat Imam Soedjono, Yang Berlawan; membongkar Tabir Pemalsuan Sejarah PKI, (Yogyakarta: Resist Book, 2006), hal 92-93. Untuk peristiwa revolusi sosial di tempat lain, lihat Anton Lucas, Peristiwa Tiga Daerah, Revolusi dalam Revolusi, (Jakarta: Pustaka Jaya Grafiti, 1989).
Tri Chandra Aprianto, Petani dan Proses Nasionalisasi Perusahaan Perkebunan di Jember, Laporan Penelitian, (PMB LIPI – NIOD (Belanda), 2005.
Imam Soedjono, loc cit, 130-131
(Soemardjan, 1984:104)
Tri Chandra Aprianto, Petani dan Proses Nasionalisasi Perusahaan Perkebunan di Jember, Laporan Penelitian, (PMB LIPI – NIOD (Belanda), 2005.
Lihat Asmu,  Untuk Demokrasi, Tanah, Produksi dan Irian Barat,  Laporan Umum DPP BTI Kepada Kongres Nasional ke VI BTI 23 s/d 29 Djuli 1962, (Jakarta: DPP BTI, 1962).
Dianto Bachriadi, Warisan Kolonial yang Tidak Diselesaikan: Konflik dan Pendudukan Tanah di Tapos dan Badega, Jawa Barat, dalam Anu Lounela dan R. Yando Zakaria (ed.), Berebut Tanah, Beberapa Kajian Berperspektif Kampus dan Kampung, (Yogyakarta: Insist Press, 2002), hal 41.
Lihat isi UU No. 8 Darurat tahun 1954, khususnya pasal 2, 11 dan bagian Penjelasan Umum pasal 1 dan 7 yang menegaskan hal ini. Bahkan dalam pasal 7, bagian Penjelasan Umum dari UU Darurat ini dinyatakan secara tegas bahwa tindakan yang akan diambil oleh pemerintah adalah memberikan kedudukan hukum kepada rakyat yang telah menduduki tanah-tanah bekas perkebunan asing tersebut. Lihat juga pada UU No. 51 Prp Tahun 1960 yang menetapkan bahwa “penjelesaian pemakaian tanah2 perkebunan dan hutan dan lain2 harus memperhatikan kepentingan pemakai tanah, jaitu kaum tani jang bersangkutan, kepentingan penduduk lainnja didaerah tempat letak perkebunan, dengan ketentuan bahwa terlebih dahulu harus diusahakan tertjapainya penjelesaian dengan djalan musjawarah dengan fihak2 jang bersangkutan.”
Dalam suatu diskusi, Gunawan Wiradi menyatakan pelaksanaan reforma agraria di Indonesia pada paruh awal tahun 1960-an tidak bisa dikatakan gagal. Yang terjadi sesungguhnya adalah reforma agraria  baru dijalankan, kemudian secara brutal dihentikan.
Proses transformasi kesalahpahaman terhadap Reforma Agraria ini juga melahirkan kegagalan merekonstruksi peristiwa yang sebenarnya terjadi. Akibatnya terjadi proses pendefinisian reforma agraria lebih bermakna pejorative. Akhirnya di dunia akademik, terdapat proses penghilangan satu pondasi ilmu yang berwatak kerakyatan. Mengenai hal ini lihatTri Chandra Aprianto, Tafsir(an) Landreform dalam Alur Sejarah Indonesia, (Yogyakarta: KARSA dan FF, 2005).
Dalam konsensus nasional tersebut yang dinginkan oleh Orde Baru adalah pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Lihat Nugroho Notosusanto, Tercapainya Konsensus Nasional 1966-1969, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), hal 32-33. Pada hal penyusun konsep Pancasila adalah Bung Karno. Walaupun sebagai konseptor Bung Karno dianggap sebagai orang yang menyelewengkan Pancasila. Artinya, Bung Karno “mati” oleh konsepnya sendiri yang dipakai oleh Orde Baru.
Gunawan Wiradi, Reforma Agraria Perjalanan yang Belum Berakhir, (Yogyakarta: INSIST, KPA dan Pustaka Pelajar, 2000) hal 141.
Sepanjang berkuasanya Orde Baru secara istilah pun, rakyat tidak lagi sebagai warga negara, tapi sebagai massa. Akibat dari adanya kebijakan massa mengambang (floating mass), dimana rakyat tidak boleh lagi berpolitik. Karena rakyat hanya massa yang tidak lagi berorrganisasi dan tidak boleh menyampaikan aspirasi politik. Keberadaan massa ini hanya dibutuhkan pada saat Pemilu. Massa ini dimobilisasi dalam rangka kepentingan politik sesaat. Bukan hadir sebagai warga negara yang memiliki kesempatan untuk menentukan hak politiknya.
Untuk kepeloporan gerakan reforma agraria yang baru ini Noer Fauzi dalam suatu diskusi sering menyebutnya dengan istilah generasi “Pemula dan Pemulai”. Pemula karena sejak dimatikannya gerakan reforma agraria di Indonesia pada tahun 1965-1966, generasi ini sebagai pemulanya pada peiode 1990-an. Sebagai pemulai karena generasi 1990-an mengawali gerakan reforma agraria tidak memiliki kaitan dengan actor masa lampaunya.
Mengenai masalah ini lihat, Kolonel Soeharjo, Tanah, Rakyat dan Tentara (Kalimantan Timur), (Djakarta: Penerbit PT Pentja, 1962) hal. 8-9.
Paling tidak di Indonesia pernah melaksanakan penelitian yang bersifat massif dan melibatkan organisasi kaum tani. Lihat DN. Aidit, Kaum Tani Mengganyang Setan-setan Desa, Laporan Singkat Tentang Hasil Riset Mengenai Keadaan Kaum Tani dan Gerakan Tani Djawa Barat, (Jakarta: Jajasan Pembangunan, 1964).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar